Momok Politik, Budak Hamba!
Oleh : As’ad Samsul Arifin
|
Birokrasi
merupakan makanan empuk bagi para penikmat dan pecinta kopi politik, katakanlah
begitu. Tidak sedikit orang yang tertarik dengan tawaran sebuah jabatan yang
cukup menggiurkan. Hampir setiap lembaga atau partai saling berkompetisi untuk
mendapatkan kemenangan dalam mencapai suara yang banyak. Maka tidak heran jika
didalam masa untuk pengumpulan suara, para politisi menggunakan berbagai macam
metode untuk berada di posisi layar utama.
Menghadapi
moment Pemilihan Umum (PEMILU) serentak di bulan april ini, mahasiswa menjadi
momok bagi para tim sukses masing-masing kubu. Dari sinilah pola fikir dan
komitmen dalam pembelajaran dibangku perkuliahan mulai dipecah. Mahasiswa yang
awalnya mempunyai pemikiran idealis, perlahan pudar dan menipis hingga berubah
menjadi pragmatis.
Jika
diliat dari segi fungsinya, mahasiswa bukan ranahnya untuk saling berebut yang
mana pilihannya. Sebagai mahasiswa seharusnya lebih jeli dan lebih paham bagaimana
peran untuk memberikan perubahan kepada bangsanya. Minimalnya title MAHA itu tidak dipergunakan untuk diperbudak oleh politik.
Kepentingan
pemerintah bukanlah kewajiban yang harus kita ta’dzimi demi menuruti nafsu
birahi mereka yang rakus akan kekuasaan. Justru kita harus mengkaji betul
seberapa jauh kontribusi dan prestasi yang telah dicapainya. Karena sejatinya
kepemerintahan yang sukses tidak hanya memiliki nilai yang positif bagi
rakyatnya. Melainkan menjadi ajang untuk dicari celah kesalahannya.
Didalam
memberikan pendapat tidak boleh hanya mengambil dalam satu sudut pandang saja.
Sebagai mahasiswa seyogyanya sudah paham akan metode penelitian. Tentu didalam
mengambil sebuah keputusan harus dipertimbangkan secara matang terlebih dahulu.
Agar tidak terjebak dalam lobang-lobang kedengkian. Maka dari itu jangan mudah
dipropaganda oleh kepentingan semata
saja. Mahasiswa dituntut harus lebih kreatif serta kritis dalam menghadapi
segala sesuatu.[]
Post a Comment