Antara Teman dan Perasaan
Sumber: pinterest
Sudah beberapa hari hujan selalu
turun, mungkin ini sudah masuk musim hujan. Di bangku paling belakang dengan
udara yang sangat dingin aku masih berkutat dengan tugas matematika yang
sebenarnya aku tidak memahaminya. Sempat ingin bergabung dengan teman-teman
tapi rasa malu ku lebih besar dari keinginanku.
“Baiklah sudah waktunya pulang,
selamat sore” Pak Dede menutup kelas hari ini yang sangat melelahkan.
Setelah berpamitan dengan
teman-teman yang entah mereka mendengar atau tidak aku mempercepat langkah ku.
Aku menghubungi kaka dan ayahku, namun tidak ada diantara mereka yang bisa
menjemput ku. karena bosan menunggu akhirnya kuputuskan untuk berjalan ke depan
gerbang meskipun hujan dan tidak tahu siapa yang akan ku tunggu, aku tidak
memperdulikannya.
Hingga ada seseorang dengan sepeda
motornya yang tidak asing berhenti tepat di depanku.
“Ra, tidak pulang?” Irfan menatap ku aneh
meskipun bibirnya tersenyum.
“Ngapain juga aku berdiri di sini
kalau aku pulang” jawabku sekenanya.
Seolah tahu apa yang aku pikirkan,
Irfan mematikan mesin sepeda motornya dan menatapku kembali. “Ayo naik, ku
antar pulang” ucapnya singkat.
Hujan semakin deras hingga akhirnya
kuputuskan untuk ikut dengannya. “kalau seperti ini bagaimana bisa aku
menghilangkan wajahmu dari ingatanku” aku membatin sendiri. Aku melirik bagian
kanan punggungnya, ya hanya punggungnya yang dapat aku lihat dan itu cukup
membuatku bahagia.
“Rara, hujannya tambah deras, kalau
kita berhenti dulu bagaimana?” tanya Irfan dengan sedikit teriak karena suara
hujan yang cukup deras.
Aku hanya mengiyakan saja, dan
sepeda motor Irfan segera belok ke kiri, dan kami berteduh di depan sebuah toko
yang di tutup dan beruntungnya ada sebuah bangku di depan toko tersebut.
“Terimakasih atas tumpangannya” ku
beranikan diri membuka pembicaraan, namun Irfan hanya mengangguk dan menatap
langit. Canggung, itu yang aku rasa, mungkin dia juga sama meskipun sejak kelas
10 kita sekelas dan sejak itu juga aku sudah menyukainya, namun aku tetap saja
sebagai Rara yang pendiam dan pemalu.
“Rara, kenapa kau sering menghindari
ku?” pertanyaan Irfan yang seketika membuat ku gugup.
“Oh iya?” jawabku dengan sebisa
mungkin untuk tidak gugup.
“Iya, apalagi setelah aku putus
dengan Dewi, rasanya kamu selalu menghindari ku, apakah Dewi yang melarangmu?
Pertanyaan Irfan yang membuatku bingung untuk menjawab apa. Karena sama sekali
Dewi tidak melarangku untuk dekat dengan Irfan mantan pacarnya, bahkan Dewi
malah berniat menjodohkanku dengan Irfan, sungguh Dewi memang aneh.
“Karena memang kita tidak dekat, dan
pertanyaanmu seperti kita dekat saja” jawabku dengan sedikit bercanda namun
berhasil membutnya tertawa.
“Rara, menurut pendapatmu kenapa
orang tidak berani mengutarakan rasa pada orang yang dia sukai?”
Aku menghela napas karena bingung
harus menjawab apa. “Kurasa, apabila diungkapkan mungkin ia takut orang yang
dia suka akan menjauhinya” jawabku
spontan setelah terdiam sejenak.
“Tapi kalau tidak dicoba, siapa yang
akan tahu, memangnya kamu bisa menahan rasa suka apalagi jika rasa itu sudah
lama?” pertanyaan balik dari Irfan yang rasanya seperti ia sedang
mengintrogasiku.
Dengan enteng akupun menjawabnya
“Entahlah, mungkin memang sakit, tapi selagi bisa menahannya merupakan suatu
kemungkinan, ya itu mungkin”.
“Jika seperti itu, apa yang akan kau
lakukan jika ada seseorang yang menahan rasa sukanya itu suka padamu?”
pertanyaan Irfan yang lagi-lagi membuat ku seperti berada di ujung tanduk
sekarang.
“Rara, kenapa kau tidak menjawab?
Kenapa kau hanya diam saja? Baiklah Rara gadis sederhana yang selama ini aku
cinta, apa yang akan kau lakukan jika aku adalah orang yang menahan rasa
sukanya padamu?
“Lihat Ra, bahkan hujan telah pergi
karena lelah menunggu jawabanmu, lihatlah kenapa ada pelangi di ujung sana
setelah kelabu pergi? Indah sekali bukan?” pertanyaan Irfan yang berhasil
membuat hujan itu pindah ke wajah ku.
“Terimakasih Irfan, maaf aku telah
manahannya, sejak dulu, bahkan sejak sebelum kau jadian dan akhirnya putus
dengan Dewi”. Tanpa gugup kalimat itu keluar dari mulutku, mungkin dengan cara
berteman jarak yang selama ini jauh bisa makin erat.[]
Oleh: Nur Ahlaq Qomariyah
Post a Comment